Dokter Keluarga: Peluang atau Pecundang?
Pekan lalu, Selasa 25 Sepember 2007, IDI Kaltim kedatangan tamu, PDKI (Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia) Pusat, memperkenalkan salah satu produk, yakni: Membangun Praktik Dokter Keluarga Mandiri.
Hmmm, apapula ini?
Dalam pemaparannya, komandan rombongan PDKI, Dr. Gatot Soetono, MPH, yang sekaligus sebagai salah satu penulis buku Membangun Praktik Dokter Keluarga Mandiri, menyebutkan bahwa Depkes belum menempatkan DK (dokter keluarga) sebagai program prioritas pada tahun 2008. Sabaarrr Pak. Dus, beliau menginginkan agar daerah tingkat II atau tingkat I dapat mengawalinya melalui ujicoba sebagai langkah inovatif.
Menilik pemaparan Dr. Gatot selama kurang lebih 1 jam dan diskusi 1 jam, penulis menangkap aroma kebingungan dalam menempatkan DK (dokter keluarga). Apakah DK akan dijadikan pengganti peran Puskesmas, sebagai institusi mandiri, sebagai program yang diharapkan ditangkap Depkes ataukah sebagai pilihan bagi para dokter umum. So, masih kabur. Namun upaya PDKI Pusat memperkenalkannya, patut kita hargai.
RINGKASAN PRESENTASI
Pada dasarnya, Dokter Keluarga memberikan layanan medis primer kepada kelompok atau komunitas tertentu berdasarkan perjanjian (MoU) yang sudah disepakati bersama. Perjanjian dimaksud, meliputi: Jenis layanan, waktu layanan, premi per peserta per bulan, jaringan rujukan dan dokter yang melayani (jika dilayani oleh beberapa dokter).
Jenis layanan, meliputi layanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, persis Puskesmas deh. Maaf, sementara penulis tidak menayangkan detailnya. Kita bisa berdiskusi untuk mengurainya, ok?
Adapun waktu layanan, PDKI mengaitkannya dengan besaran premi. Ini rasanya kurang pas, lantaran lebih 40 jam per minggu, sepanjang tahun si dokter keluarga harus melayani peserta. Huaaa, lantas kapan refreshingnya … dan kapan mengikuti pelatihan berkelanjutan sebagai syarat mutlak uji kompetensi seorang dokter? Kayaknya perlu dikaji ulang nih, jangan hanya ngejar premi lantas kepentingan dokter dan keluarganya terabaikan. Ya kan?
Hitungan premi, pihak PDKI memberikan semacam standar satuan, yakni sekitar 9.800 rupiah per peserta per bulan. Perhitungannya njlimet deh, menyangkut hitungan jam pelayanan dll … dll…dll. Tentu angka ini fleksibel, sangat dipengaruhi oleh banyak hal terutama batasan-batasan jenis layanan dan komunitas yang dilayani. Ini berarti bisa saja muncul strata layanan Dokter Keluarga di kemudian hari. Why not?
KESIMPULAN
Kehadiran pemahaman Dokter Keluarga dan layanannya di masa mendatang patut kita hargai. Demikian pula upaya IDI menjadikan Dokter Keluarga sebagai peluang para dokter baru dalam memberikan layanan medis sekaligus lapangan kerja mandiri (baca: mencari nafkah) merupakan terobosan bagus di tengah kurangnya kepedulian Depkes kepada para dokter baru dan makin rumitnya syarat dokter untuk praktek.
Apapun nantinya, seyogyanya dokter keluarga tetap mengusung layanan medis berkualitas dan biaya terjangkau. Ini adalah salah satu komponen penting dalam layanan medis di masyarakat. Berkualitas dalam hal sikap, tempat, alat, pengetahuan, informasi dan rekam medik, disamping penunjang lainnya seiring dengan kemajuan teknologi.
DISKUSI
Terbuka aja deh … ok? Sebagai gambaran, mungkin ada beberapa hal yang bisa kita urai melalui forum diskusi terbuka, meliputi:
- Pertama: Jenis layanan. Seperti apa harapan para pengguna layanan medis tingkat pertama terhadap dokter keluarga ?
- Kedua: Besaran premi. Berapa sih, besaran premi per peserta per bulan terkait jenis layana yang diharapkan ? Selain itu, berapa kali rata-rata kunjungan peserta dalam setahun? Tergantung penyakitnya !!! Hehehe, bukan itu … maksudnya berdasarkan pola penyakit tahunan gitu loh.
- Ketiga: Waktu layanan. Ehm, berapa jam dalam sehari waktu yang diharapkan oleh para peserta? Misalnya, pagi hingga siang …sekian jam dan malam sekian jam, so total dalam sehari sekian jam.
- Keempat: Ruang lingkup peserta. Siapa saja pesertanya? Bisakah komutitas institusi misalnya karyawan perusahaan dan keluarganya ? Warga masyarakat bebas memilih dokter keluarga berdasarkan kualitas dll, dan bukan berdasarkan wilayah semata lho.
- Kelima: dan seterusnya, bebaaassss … silahkan aja.
PESAN PENULIS
Jangan sampai Dokter Keluarga dijadikan proyek, gak baguslah. Dan jangan sampai seperti Askes, Jamsostek yang menempatkan dokter seperti tukang dan menempatkan peserta sebagai obyek belaka. Ingat program Gakin kan ? hehehe
Jadikan dokter keluarga sebagai peluang, bukan pecundang yang hanya menempatkan dokter dan peserta sebagai obyek belaka. Ini hanya akan menimbun kebohongan demi kebohongan. Caranya ? Mandiri !!! Jangan takut mandiri, lha wong mbah tukang pijet di ujung ndeso aja didatangi pelanggan, masa dokter yang dibekali pengetahuan takut gak laku lantas menghambakan diri ke … ehm ehm, hanya demi premi 2500-5000 perak dan kapitasi ?
Blehhh !!!
Utamakan kulitas pelayanan dari berbagai aspek sebagai perwujudan Doctor Future, niscaya pasien or peserta datang dengan sendirinya, gak perlu nawar-nawarkan kayak mo jualan … hahahaha.
Tidak semua dokter harus ikut dokter keluarga. Dokter adalah manusia merdeka baik sebagai individu maupun sebagai provider. Sepanjang si dokter melakukan praktek yang berkualitas dan sesuai dengan kaidah layanan medis doctor future, maka itu sudah lebih dari cukup. Mari bersaing bebas dan sehat dengan siapapun. So insurance gak perlu kebakaran jenggot dengan kehadiran dokter keluarga. Atau, dokter keluarga juga akan dicaplok sebagai “mitra” ? (baca: obyek pemerasan)
Yuuuk, ramai-ramai ke desa. Jangan pandang remeh warga ndeso. Mereka juga memerlukan kita. Kendati uangnya hanya lembaran ribuan mambu lengo klenthik, … sedep juga koq. Gak percaya ? Buktikan sendiri, gak terbukti uang kembali, hahahaha.
Wahai para dokter baru (atau calon dokter), kehidupan bukan hanya di kota besar. Bukan hanya senang dikerubuti medrep belaka. Enakan dikerubuti pasien ketimbang dikerubuti medrep, yaa nggak?
Sabar, istiqomah, ikhlas, jujur, berkualitas adalah kata kunci yang patut dijalani dimanapun dan kapanpun, …dan … yang lain-lain (baca: rejeki) akan datang dengan sendirinya.
:: :: :: sebuah riview atas presentasi pengenalan dokter keluarga :: :: ::
Blogged with Flock
Tags: Artikel, Kesehatan, Health Informatic, Opini, Review
vertamax… 😆
kalau keluarga dokter gimana cak?
*komen ngasal*
@ cK,
Huaaa, langsung main sambar vertamax, padahal masih edit link 😛
Keluarga dokter? … maskudnya adik dokter apa “adik ketemu gedhe” dokter? …
Jangan mau ama dokter chik, ntar makan sendirian, ke restoran sendirian, gak enak kan ? *njawab ngasal juga ah* 🙄
@ck: ya jangan mau chik *ikut-ikutan*
@cak:
padahal di kompetensi lulusan dokter kan sudah diarahkan ke dokter keluarga ya, tapi kok konsep di depkesnya sendiri belum matang?
@ mina,
iya mbak, di Depkes nya sendiri belum. Kali takut tabrakan, soalnya sama persis dengan pedoman kerja dokter edisi revisi tahun 2001 dan 2004. Malah di Unmul sks nya banyak tuh, piye?
Kayaknya sih IDI lebih mengarahkan ke praktek mandiri khususnya bagi ts yg baru lulus.
siap laksanakan!!!!
Huihihihi.. pedasss pedassssssshhhh.
Manteb dah!
Walaupun ada dokter keluarga, tapi yang bersangkutan gak sreg kan gak bakalan didatengin juga cak.
Soalnya saya punya dokter Askes, kalo sakit yang saya datangi dokter yang lain. Soalnya dokternya galak
Saya belum punya dokter keluarga nih… 😦
pilih dokter blogger aja ah … konsulnya gratissss
🙂
FYI..UNS dah mempelopori Kedokteran Keluarga dengan program MAGISTER KEDOKTERN KELUARGA..menurut saya emang bagus& idealis..tp yg jd masalah adalah mindset masyarakat ttg Asuransi kesehatan yg belum clear..so anggepannya: SAKIT MESTI BAYAR KE DOKTER.
OOT aja Cak, kapan mudik? hehe…
Dokter Keluarga 40 jam seminggu? Waks… Nanti bertambah deh kisah seperti teman cak Moki itu tadi. Kalo saya sendiri dokter apa ya? Dokter Jalan – Jalan aja deh 😀
Saya udah punya dokter keluarga, namanya? Cakmoki, hihihi…
Dokter keluarga itu bukannya 24 jam sehari , 7 hari seminggu cak? hihihi..kayak ATM
Pah, kita kan sekeluarga..berarti papah adalah dokter keluargaku..hehe
40 jam seminggu, wah kok sama ya kayak jumlah waktu sks per minggu waktu kuliah di FK, benar-benar boring dan monoton.
Kalau saya memandang dokter keluarga yang sebenarnya itu ya seperti dokter yang mengunjungi pasiennya kerumah seperti yang disinetron-sinetron itu. Tapi kurangnya disinetron, dokter keluarganya belum ada yang datang mengunjungi pasien di rumah reot mesti dokternya datang mengobati di rumah gedongan dan ada wanita cantiknya.
Dengan di bayar 9800 per peserta per bulan mesti ujung-ujungnya pasiennya dikasih obat lampu merah ya sekitar obat yang berwarna merah, kuning, hijau itu lo.Kasihan pasien, udah gitu dikasih bonus muka cemberut lagi di depan pasien , dan mendiagnosis seperti dukun ( belum pasiennya nongol di depan dokter tapi resep obatnya udah jadi duluan). APA KATA DUNIA……..
@ imcw,
Paket yang mana Om, platinum, gold apa silver ?
Kalo toh bisa dijalankan, kayaknya dimungkinkan di kota besar saja.
Entah kalo di perifer…ada saran?
@ Yandhie Dono,
hehehe, padahal udah diperlunak lho, bulan Puasa soalnya …
@ itikkecil,
ya mbak, saya lebih suka membiarkan pasien sebagai orang merdeka yang bebas memilih, gak perlu diatur atur. Emang dokter keluarga lebih berorientasi dari satu sudut pandang sedangkan salah satu komponen penting yakni pasien seolah diabaikan. Ini yang seraing saya kritik 😀
@ suandana,
Tenang mas *sambil nepuk-nepuk Mas suandana* … bentar lagi bakalan punya koq 😉
@ kangguru,
setujuhhh, Dokter Keluarga Blogger, gratiiisssss…. saya mau koq 🙂
@ sibermedik,
ya, sebenarnya semua FK udah mengusung Dokter Keluarga, … maklum, mungkin ada titipan dari sononya. Masalahnya, kalo ditanya tentang keluarga, semuanya memberikan jawaban berbeda. So…akhirnya di masyarakat nantinya pilihan disesuaikan dengan wilayah setempat.
@ Fa,
Sabtu, 6 Oktober 2006, go to east java.
Mo ngasih traktiran ? …eh, terbalik ya 😛
@ Astri,
Saya pilih paket yang 4 jam sehari trus penghasilan seharinya … ehm..ehm, enaknya berapa ya ?
@ manusiasuper,
Tossss, …sssttt, jangan ramai-ramai ah, ntar pada nagih makan-makan â„¢
@ Shinta,
Hihihi, kayak ATM dan UGD … lha mancingnya kapaaaaannn 😛
@ calonmantu,
iya dong 😉 … kita satu tim kan? ntar bayarannya bagi-bagi 🙄
@ zulharman,
Hehehe, ya saya sependapat, jangan sampai mengejar pelanggan lalu banting harga trus menggunakan obat “lampu merah”. Kalo dah mapan, sebenarnya home visit tidak mutlak, apalagi jika sudah dilengkapi perangkat online. Hmmmm, trus … cantik-cantik, huaaaa ini mah dokter keluarga apa cari pasangan? hahahaha
Saya sih enakan praktek sendiri ajah, biarpun nenek-nenek tapi gak terikat.
Konsepnya dari dulu bagus …tapi pelaksanaannya dari dulu gak bagus. Setidaknya ada niat pemerintah untuk berbuat baik 🙂 Cuman kayaknya para petinggi penentu keputusan gak pernah ke desa ya, jadi gak punya gambaran gimana kerja di desa. Tiap daerah juga lain kondisi dan budayanya, mesti disesuaikan tuh. Btw enak jadi dokter yang di sinetron, gayanya keliru, bajunya gak pernah lusuh, kalo nolong orang mau mati tampak tenang, pake daasi…..bayaran gede ….. udah keliru dibayar mahal 🙂
yang ada malah FAKULTAS KEDOKTERAN (KELUARGA)..he..he…
Maksudnya..kalo Ortunya Dokter (Dosen/Spesialis/Staf) masuk FK nya lebih gampang…he..heee… Piss (^_^)v
gimana kalo mbuat PKDI (Perhimpunan Keluarga Dokter Indonesia)?
coz realitanya yg terjadi adalah FAKULTAS KEDOKTERAN (KELUARGA)he..he…
Kebanyakan Anak dari Dokter (Dosen/Staf/Spesialis)yg bkerja pada suatu Instansi Pendidikan dokter lebih mudah diterima sebagai mahasiswa FK tersebut…
janganlah jadi dinasti….kalo memang anaknya sendiri yg pingin jd dokter, Its OK lah…
tapi kalo maksa2 gtu..kacian kan?????
Btw, g da maksud nyinggung Cak Moki lhow…
Maap..maap..klo ada rekan2 sejawat yg ksindir…
Peace (^_^)v
Waaah… cak Moki tgl 6 oktober ke Jawa Timur??? Kopdar yukkkkkkk… Sampe kapan?
@ dokterearekcilik,
…dan saya khawatir setiap ganti Menteri ganti kebijakan, seperti yang sudah-sudah. Konsep mulu pelaksanaannya embuh. Saya jadi inget Perencanaan Tingkat Puskesmas (PTP) plus profilnya…belum sempat dilaksakan dah ganti lagi…hehehe
Yo wis, enakan jadi dokter sinetron atau dokter selebriti…walau keliru dibayar mahal..
@ sibermedik,
..hmmm, maybe yes maybe no…
Emang hampir selalu ada yang seperti itu. Gambaran seram tersebut mungkin di UNS ya… mungkin gak semua kali. Anak-2 teman yg di Unair hanya 1-2 yang diterima dari semua yg daftar, itupun bilangnya emang pandai. Tenang ajalah…ntar pasar jua yang menentukan.
Kalo kecenderungan sepertinya soal keseharian, or kebiasaan melihat…
Contoh, seorang dokter punya anak. Si kecil SD dah hapal beberapa penyakit dan penyebabnya, padahal gak ada yg ngajari, dan pilihannya kelak akan tumbuh seiring dengan waktu…entah mo jadi dokter atau enggak.
Mungkin juga ada yg gak kepingin jadi dokter trus dipaksakan masuk program extension yg konon ratusan juta, kalo gak kuat ya jebol, DO di tengah jalan.
@ Astri,
hehehe, Sby semalam or 2 malam, mungkin anak mertua mo belut goreng di Ngagel, trus ke Jember. Sampai lebaran mbak.
Ok bisa, ntar pulang dari Jember ada waktu agak lowong setelah lebaran kayaknya. ..ehm ..ehm kangen sate kerang pinggir jalan.
kayaknya yang anak dokter akan diterima di FK tu gak selalu berlaku lo, apalagi di program spesialis. banyak contohnya, karena teman2 rata2 bukan anak dokter, dan mereka mampu mengalahkan anak2 dokter yang sama2 mendaftar, jadi tergantung nilai dan kemampuan dia juga.
pesan terakhir ini yg asyik cak.. saya binun apa diIndonesia nih masyarakat kurang cerdas ataukah masyarakat emang sudh dikondisikan untuk selalu menerima kebijakan dari atas yg kadang tidak sesuai dengan kondisi masyarakat..
tapi saya bersyukur kalo emang dokter keluarga bener2 menjadi niat baik pemerintah untuk memajukan kesehatan bangsa
🙂
@ mina,
iya mbak, gak mesti… anak dokter lebih banyak yang gak ketrima ketimbang yang ketrima di FK…hehehe, setujuhhh, tergantung kemampuan, saya sendiri gak pernah mempermasalahkan soal itu, yang penting bersaing, …malah banyak yang berasal dari ndeso â„¢ 😉
@ almascatie,
kayaknya begitu, nah… tugas para cerdik pandai untuk membantu yang tertindas… gimana om?
pemerintah belum nyenggol Om, yang gencar mengenalkan konsep ini baru IDI Pusat… ya semoga bermanfaat bagi sesama 🙂
ayo kopdar cak…saya insya Allah pulang via GUBENG tgl 10 sore…balik k solo tgl 15 sore…sms wae klo jd ketemuan OC!!
kopdar di LOntong Balap Kebon Rojo aja yuk…depan SMP 2 Sby…disana sate kerangnya murah tur enak…apalagi es degannya…maknyus tenan….
Yok opo eneh iki to Cak?
Mending penggede-penggede itu diberi kerjaan fisik, ora mikir terus, dadi mikire sing aneh-aneh wae.
Yen meh dadi dokter kerluarga yo MoU-ne antara dokter dan keluarga bersangkutan. Wong njobo ora perlu nimbrung.
@ sibermedik,
yo… no HP tolong via offline message aja ya …berarti ntar sekitar 10-15 kayaknya bisa … saya di Rungkut (RK V), deket Yakaya or kalo saya masih tertahan di Jember kita sms-an 🙂
@ juliach,
ya, di dalam fisik yg kuat tersimpan jiwa yang sehat, hehehe
oke mbak, ntar saya sampaikan saat pembekalan teknis medis bagi para calon dokter, maturnuwun ya
SETUJU… Apapun namanya, mau dokter keluarga, mau dokter perusahaan, atau dokter komunitas… Jangan sampai pengetahuan yang seyogyanya diberikan untuk menolong pasien di “jual” dengan perantara (“makelar”) seperti asuransi, lab, farmasi, dll.
@ hermin,
thanks mbak … setujuh!!! 🙂
Konsep dokter keluarga di Indonesia dengan di Ausie beda Cak… Saya jadi batal ngambil itu dsini… padahal beasiswaku ntuk ngambil dokter keluarga itu…
@ Ady,
ceritakan dong 🙂
lapor….
aku sudah ikut daptar dokter keluarga cak!
@ klikharry:
siiiip 🙂
moga sukses ya … dan mudah-mudahan berfanfaat bagi sesama, murah rejeki fid dinni wad dun-ya wal akhiroh, aminnnn
maap cak…
sy mau share aja cak…
klo mau buat SIDK (sistem Informasi dokter keluarga) ya ttg rekam medisnya…
maklum sy mantan mahasiswa rekam medis… he..he..
Patokan, Pedoman, yang pasti itu bagaimana leh…
q dah tanya ma sapa2 kok blm da respon…
please cak…
klo ada tolong dong cak.. sy dikasih tahu…
ok…
matur sembah nuwun…
dari cah pati…
senoteam@gmail.com
@ seno:
Pembuatan Rekam Medis bergantung pada user berdasarkan interface, kemudahan pemakaian, jenis entry data, software yang digunakan, output yang diinginkan, dll.
Yang paling umum dan fleksibel menurut saya dan pengalaman temen-2 pembuat program adalah MySQL. Software ini selain opensource juga mudah dilakukan editing manakala terjadi perubahan entry data menyangkut kebijakan dan nominal jasa.
Tentang Institusinya (RS, Puskesmas, Klinik, Dokter Keluarga, dll) tinggal menyesuaikan dengan keinginan user.
Sebaiknya langsung ngeliat yang udah aplikatif aja supaya punya gambaran yang lebih nyata.
Kalo di kaltim yang udah makai Rekam Medik berbasis MySQL misalnya: RSUD Kanuyoso (Balikpapan), RSUD IA. Moeis (Samarinda), Puskesmas Rawat Inap Palaran (Samarinda)…selebihnya saya gak tahu persis. Mungkin di tiap kota udah ada RSUD yang menggunakan, so silahkan menghubungi bagian Rekam Medik masing-2 RSUD.
Trims
[quote]
!!! Jangan takut mandiri, lha wong mbah tukang pijet di ujung ndeso aja didatangi pelanggan, masa dokter yang dibekali pengetahuan takut gak laku lantas menghambakan diri ke … ehm ehm, hanya demi premi 2500-5000 perak dan kapitasi ?
dibekali pengetahuan ———–> pengetahuan apa? dokter sekarang banyak yang karbitan….
@ telor kuda:
maksudnya karbitan gimana ???
Bisa lebih spesifik ? 🙂
Cuma unek2 ya Cak…
konsep dokter kluarga sendiri kan masih belum jelas definisinya..
klo mo di jabarkan butuh pengorbanan yang gak sedikit.
apalagi tar udah nyampe ke pelaksanaannya. harus mempertimbangkan banyak hal, dari individunya, sistem yang mo dipake, lingkup pekerjaannya…
kynya klo dokter keluarga membawa embel2 mandiri, bakalan mati berdiri yang jadi dokternya…
Sy sdri bukan dokter, cuman kebetulan t4 sy bkja skg sudah mencoba pola dokter keluarga ini untuk lingkup kecil terbatas seperti perusahaan. semua yang sudah kita kerjakan ternyata mau tidak mau akan berbenturan pula dengan banyak kepentingan. Idealisme dokter sebagai pengayom pasien akan luntur dan sedikit2 akan menjadi layaknya tukang obat. pada akhirnya konsep dokter keluarga yang mengatasnamakan kepentingan pasien berubah menjadi kepentingan bisnis.
kalo sudah gitu, pertanyaannya adalah….. apakah dokter keluarga itu benar2 ada?
@ bukan sapa sapa:
Bener, di Indonesia masih banyak simpang siur dan beda pendapat tentang bentuk dan model dokter keluarga.
Jika “Dokter Keluarga” hanya sebagai label untuk proyek pemerintah atau hanya untuk label di lingkup kecil dengan maksud untuk menangguk keuntungan semata, maka tidak perlu menggunakan embel-embel dokter keluarga karena tidak cukup kuat sebagai pilar konsep dokter keluarga.
Secara sederhana, dokter keluarga dimaksudkan untuk memberikan pelayanan yang mudah, murah dan berkualitas, tanpa “campur tangan pihak lain”. Salah satu penghambatnya adalah terlibatnya pihak lain yang melihat dokter keluarga sebagai media mencari keuntungan. Jika dokternya lemah (dalam hal idealisme), lebih baik gak usah pake dokter keluarga.
Di daerah kami, sebuah kecamatan kecil di pinggiran Samarinda, sy dan seorang teman sudah menggunakan konsep dokter keluarga (mandiri) sehingga mendapatkan ijin dari Dinkes dan Pemkot untuk mengelola obat dan penunjang diagnosa (lab) dalam pelayanan medis. Dengan demikian akan memudahkan pasien, jauh lebih murah dan lebih cepat.
Sebagai gambaran, seorang pasien dapat memperoleh pelayanan jauh lebih murah dibandingkan RSUD atau RS Swasta, dengan obat yang sama persis. Dan kami tidak mati berdiri…hahaha.
Kuncinya sederhana, yakni hanya kejujuran dan niat untuk membantu pasien.
Apakah ini dikatakan bahwa dokter keluarga mandiri tidak ada ? Kami sudah membuktikan dan melakukannya bertahun-tahun. 🙂
Saya malah ingin bertanya, apa sih sulitnya ?